Bandung Mawardi *
Bali Post, 5 Mei 2013
SEJARAH Indonesia dalam
pengertian negara telah melimpah. Pembacaan untuk mengenangkan atau mengimpikan
Indonesia menjadi kelumrahan karena zaman modern menghendaki kesadaran negara
tumbuh sebagai takdir perubahan. Penjelmaan negara itu diresmikan dengan paket
nasionalisme saat masa kolonialisme. R E Elson (2009) dalam The Idea of
Indonesia pun mengisahkan Indonesia dalam utopia negara dan mengabsenkan
bahasa. Produksi wacana ini memunculkan konsekuensi seolah bahasa sekadar
ornamen dalam geliat nasionalisme untuk “mencipta” Indonesia. Bahasa ada dalam
paket nasionalisme itu kendati kerap menjadi instrumen karena belum memiliki
historiografi. Bahasa jadi remang-remang ketimbang negara sebagai proyek.
Joseph Brodsky dalam sepucuk
surat pada penguasa Uni Soviet menulis tantangan saat peraih Nobel Sastra 1987
mesti disingkirkan dari negeri sendiri. Brodsky menulis: “Bahasa jauh lebih tua
dan penting ketimbang negara.” Petikan surat ini bisa mengingatkan bahwa
mengurusi sejarah bahasa Indonesia adalah keharusan. Penulisan sejarah
Indonesia sebagai negara malah mengesankan ada pelupaan atas bahasa. Usia tua
bahasa kalah pamor oleh nalar kemodernan. Negara jadi idaman tapi bahasa
nelangsa dalam gelap-sejarah.
Ketuaan bahasa Indonesia hampir
tersingkirkan dari pewacanaan historis-politis. Hilmar Farid (1996)
mengingatkan bahwa pewacanaan bahasa di negeri ini kerap dipahami sebagai hasil
nasionalisme. Kesadaran atas bangsa untuk menjelma negara malah jadi penentu
kelahiran bahasa Indonesia. Nalar ini kentara mengabaikan kesejarahan bahasa
Indonesia. Bangsa menemukan bahasa? Wacana ini tumbuh tanpa dibarengi dengan
kerja keras untuk penulisan historiografi bahasa Indonesia. Bahasa pun sekadar
termaktub dalam bab kecil atau masuk sebagai catatan kaki.
Nasionalisme
Proyek bahasa dalam sastra abad
XIX dan XX mengandung utopia-utopia untuk menjelma embrio nasionalisme.
Jejak-jejak bahasa ini tampak kehilangan rumah karena gagasan bangsa mencuat.
Produksi buku-buku sastra, koran, atau majalah dengan penggunaan formula awal
bahasa Indonesia malah termaknai dalam kerancuan proyek identitas. Bahasa itu
mempertemukan pelbagai perbedaan etnis dalam permainan dominasi. Bangsa
(Indonesia) mungkin ikut terbentuk karena produksi bahasa ketimbang oleh
kesadaran modern membentuk komunitas atau gerakan politik. Bahasa memicu
pembentukan nasionalisme?
Kepekaaan atas kesejarahan bahasa
sebagai pemicu nasionalisme tampak dari studi Benedict Anderson dalam Imagined
Communities. Anderson memberi contoh geliat nasionalisme Jerman. Kapitalisme
cetak dan bahasa menjadi bahan-bahan signifikan untuk merevolusikan paham
bangsa di kalangan petani dan kebangsaan Jerman di kalangan bugher kota. Kasus
ini mirip dengan efek kapitalisme mesin cetak di Hindia Belanda sebagai pemicu
dari pemihakan gagasan bangsa dan identitas. Nasionalisme tumbuh dalam buku,
pamflet, pidato, koran, atau majalah dengan pertaruhan bahasa. Nasionalisme itu
tumbuh melalui bahasa Melayu, Belanda, Jawa, Sunda, Bugis, China, atau Batak.
Bahasa dalam ilustrasi ini mengesankan sebagai pembuka pintu untuk pembentukan
dan sebaran nasionalisme sebelum ada konsesus politik-kultural atas nama Bahasa
Indonesia (1928, 1938, 1945).
Pemakaian bahasa dalam produksi
sastra abad XX telah identik dengan gagasan nasionalisme. Tulisan-tulisan
Muhammad Yamin, Roestam Effendi, Mohamad Hatta, Sutan Takdir Alisjahbana, atau
Sanoesi Pane menjadi proyek identitas dan pematangan nasionalisme kendati ada
keterbatasan dalam komunikasi politik. Sastra memberi arti saat paket politik
kerap disuarakan dengan bahasa Belanda karena prosedur politik kolonial dan
berkah dari model pendidikan ala kolonial. Bahasa Indonesia mengisahkan diri
dengan intensif dalam sastra
Proyek nasionalisme-bahasa dalam
sastra dikuatkan dengan pewacanaan dalam jagat jurnalistik. Kesadaran dan
kemauan politik-kultural dalam kerja jurnalistik jadi prolog pelaksanaan
Kongres Bahasa Indonesia I di Solo (1938). Kongres ini merupakan jalan
sambungan dari konsensus 1928 tapi memiliki makna kunci karena memicu kemauan
membesarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa politik, ekonomi, seni, pendidikan,
dan kultural. Legitimasi atas pilihan ini dilakukan oleh kalangan politisi
modern, intelektual, pengarang, wartawan, dan penguasa tradisional. Implikasi
bahasa pun lekas menyebar ke penjuru negeri dengan pengesahan-pengesahan secara
efektif dan efisien untuk mengusung nasionalisme.
Petikan dalil dari makalah Sutan
Takdir Alisjahbana saat kongres di Solo itu pantas jadi penanda dari relasi
bahasa dalam agenda politik-kultural. Bahasa menentukan kualitas dan jalan
nasionalisme (bangsa) melalui cara pikir bahasa dalam kemodernan. Sutan Takdir
Alisjahbana mengungkapkan: “Oleh karena bahasa ialah alat keboedajaan jang
terpenting dan oleh karena berpikir cara modern bersandar pada bahasa, maka
keboedajaan Indonesia jang baroe hanja moengkin toemboeh dengan baik apabila bangsa
Indonesia seoemoemnja ataoe sekoerang-koerangnja jang mendjadi pemoeka dalam
segala lapangan keboedajaan Indonesia, paham betoel akan bahasa Indonesia.”
Kekalahan
Fragmen-fragmen kesejarahan ini
adalah tanda seru untuk kematangan nasionalisme hari ini saat proyek demokrasi
luka-luka oleh konstitusi, arogansi komunikasi politik, kebanalan kurikulum
pendidikan, kooptasi bahasa global, kesekaratan bahasa etnik, dan pengerasan
bahasa oleh kekuasaan. Biografi bahasa Indonesia memang identik dengan kekuasaan
tapi kerap diabaikan sebagai substansi Indonesia. Bahasa-nasionalisme mengubah
diri dalam godaan globalisasi.
Soekarno dan Soeharto besar
karena bahasa. Kekuasaan mereka hadir melalui bahasa Indonesia. Masa lalu itu
digantikan oleh kesibukan mengurusi politik dan penglahiran undang-undang
kebahasaan. Bahasa Indonesia mendapati perlindungan politik saat perhatian etik
sudah pudar oleh ambisi demokratisasi-global dan menuruti kemauan pasar dalam
konsensus bahasa global. Sastra memang masih jadi rumah bahasa tapi kadang
lelah dan dimentahkan oleh proyek politik-ekonomi. Perlindungan politik melalui
konstitusi seolah mengabarkan kekalahan telak bahasa Indonesia atas perubahan
zaman dan rezim-kapital. Bahasa Indonesia telah kehilangan rumah-bangsa?
Penjelasan historis-utopis dari
Benedict Anderson dalam Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia
(1990) memberi tanda seru untuk proses menghidupi atau mematikan bahasa
Indonesia. Anderson ingin bahasa Indonesia tak sekadar untuk mengekspresikan
nasionalisme, aspirasi Indonesia, atau mengungkapkan tradisi-tradisi Indonesia.
Bahasa Indonesia mesti menjadi kekutan vital dari proses perubahan. Bahasa
Indonesia sebagai bahasa politik memang menegangkan tapi jalan kultural mesti
disemaikan untuk merawat kesejarahan dan capaian masa depan.
Bahasa Indonesia memang jarang
jadi wacana primer untuk proyek Indonesia mutakhir. Bahasa kalah dengan modal
dan politik. perkara-perkara bahasa pun tersembunyi oleh urusan korupsi,
skandal seks, gosip, sinetron, atau kriminalitas. Bahasa mungkin masih jadi
masalah dalam sastra kendati asing di rumah-bangsa sendiri. Bahasa Indonesia hari
mirip tumbal dari ketamakan kapitalisme dan arogansi demokratisasi-global.
Bahasa Indonesia hampir tanpa historiografi dan impian untuk menentukan masa
depan. Begitu.
*) Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
Dijumput dari: http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=18&id=75861
0 comments:
Post a Comment