Bandung Mawardi *
www.solopos.com, 16 Agustus 2012
Sejarah bertaburan kisah. Sejarah memerlukan pengisahan.
Indonesia bergerak di arus sejarah. Para pengisah memberi rujukan untuk
pembukaan kembali halaman-halaman masa silam.
Kompetensi dan penggunaan bahasa dari para pengisah
menentukan keberterimaan atau curiga. Kita justru bisa ada di persimpangan
jalan saat para pengisah menyuguhkan perbedaan dan pertentangan.
Mohammad Hatta dalam artikel Legende dan Realitet Sekitar
Proklamasi 17 Agustus di Mimbar Indonesia, No 32/33, 17 Agustus 1951, mengakui
proklamasi adalah ”kedjadian besar jang menentukan djalan sedjarah Indonesia”.
Klaim ini menerangkan kebenaran dan kerancuan sejarah.
Mohammad Hatta menganggap bahwa pengetahuan publik atas sejarah proklamasi
sering terjebak oleh ”dongeng” dan ”legenda”. Mohammad Hatta mengajak publik
bisa mempertimbangkan kebenaran dalam pengisahan proklamasi di buku Adam Malik
berjudul Riwajat dan Perjuangan Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17
Agustus 1945 (1950).
Mohammad Hatta dan Adam Malik memang pelaku dalam sejarah
Proklamasi tapi memiliki perbedaan peran. Perbedaan ini memicu kerancuan
pengisahan.
Sanggahan Mohammad Hatta atas pengisahan Adam Malik adalah
kemunculan tokoh Sajuti Melik sebagai ”seorang jang memberikan kata jang
penghabisan tentang isi proklamasi”. Kita bisa membuka kembali buku Adam Malik
untuk membuat perbandingan efek pengisahan proklamasi.
Adam Malik di halaman ”Sepatah Kata” menjelaskan bahwa
penulisan buku dimaksudkan untuk membersihkan segala kedustaan dan kebohongan
dari berbagai sumber sejarah dan kesaksian.
Niat dieksplisitkan dengan pengharapan agar ”generasi jang
akan datang djangan sampai tertipu atau dapat dibohongi tjerita-tjerita fantasi
belaka.” Ingatan dan bukti disuguhkan tapi masih menyisakan ”kesalahan”.
Mohammad Hatta meralat demi pembasmian ”dongeng” dan ”legenda” di sekitar
sejarah proklamasi.
Adam Malik saat itu representasi kaum muda heroik bersama
Wikana, Chaerul Saleh dan Sukarni. Mereka memang bergairah untuk mendesak
Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan Indonesia.
Siasat kaum muda dan kehendak Soekarno-Hatta berbeda.
Situasi genting pun diresepsi oleh mereka dengan keputusan dan tindakan cepat.
Barangkali persoalan waktu dan ketergesaan memengaruhi ingatan Adam Malik dan
Mohammad Hatta saat mengisahkan Proklamasi Kemerdekaan RI setelah sekian tahun
dari peristiwa.
Mereka bisa dalam situasi hampir sama di ruang dan waktu
historis tapi perbedaan peran juga ”memisahkan” perspektif diri. Pengisahan pun
mengandung perbedaan narasi situasional dan emosional.
Mohammad Hatta meralat buku Adam Malik dengan mengeluarkan
buku bertajuk Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 (1970). Buku ini memiliki
aksentuasi pengisahan mengacu ke mata-historis Mohammad Hatta sebagai sosok
intelektual dan politisi santun.
Ketenangan diri dalam menghadapi berbagai situasi politik
menentukan pengisahan. Mohammad Hatta mengisahkan dengan alur runtut dan
tenang. Pengisahan jauh dari emosional atau pembiasan narasi. Hatta mengaku
bahwa penulisan buku tipis itu memerlukan riset dokumen di Honolulu selama enam
bulan.
Mohammad Hatta pun masih membuat kesalahan terkait sikap
pemerintah militer Jepang dan peran Admiral Patterson. Informasi Hatta salah
dalam hal waktu dan pengaruh. Ralat diajukan oleh P Swantoro dengan tambahan
penjelasan dari S Tasrif.
Ingatan manusia memang terbatas. Mohammad Hatta mengakui
kesalahan itu di edisi cetakan kedua. Mohammad Hatta adalah pelaku tapi tak
bisa mengisahkan secara utuh berbagai hal tentang proklamasi. Kehadiran buku
Mohammad Hatta sebagai sanggahan atas buku Adam Malik adalah mekanisme
mewariskan ingatan sejarah di jalan literer.
Pengisahan proklamasi melalui buku juga dilakukan oleh Ahmad
Soebardjo dengan judul Lahirnya Republik Indonesia (1978). Tokoh ini terlibat
dalam sejarah proklamasi meski berbeda peran dari Mohammad Hatta dan Adam
Malik.
Buku ini memuat kata pengantar dari Mohammad Hatta dan Adam
Malik. Pujian diberikan oleh Adam Malik: Buku ini cukup mempunyai alasan dan
fundamen yang kuat sebagai buku sejarah karena penulisnya sendiri ikut serta
sebagai pelakunya, maupun sebagai peninjau dan juga sebagai penyelidik.
Kesaksian Ahmad Soebardjo berbeda dari narasi Adam Malik dan
Mohammad Hatta. Kita bisa simak dalam adegan percakapan antara Soekarno dan
Ahmad Soebardjo saat proses penulisan teks proklamasi.
Rentan
Soekarno bertanya tentang kalimat-kalimat di Pembukaan UUD
1945. Ahmad Soebardjo mengaku ingat tapi tak utuh. Soekarno mengambil secarik
kertas dan menulis kalimat dari pengucapan Ahmad Soebardjo: Kami, rakyat
Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan kami.
Rumusan kalimat terakhir diajukan dan ditulis sendiri oleh
Soekarno: Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan
diselenggarakan dengan cara yang secermat-cermatnya serta dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya.
Keterangan ini berseberangan dengan keterangan di buku Adam
Malik dan Mohammad Hatta. Adam Malik mengajukan nama dan peran Sajuti Melik.
Mohammad Hatta (1952) pernah mengingatkan bahwa kalimat pertama dalam
proklamasi ”menjatakan kemauan bangsa, jang dari itu ke atas menentukan
nasibnja sendiri”.
Kalimat kedua ”bukanlah perkataan jang teringat
sekonjong-konjong, melainkan adalah pertimbangan jang telah matang dipikirkan.”
Deskripsi adegan Ahmad Soebardjo jadi ”meragukan” jika dibandingkan dengan
pengakuan Hatta. Mereka memang hadir bersama dan terlibat dalam proses
penulisan teks proklamasi.
Kejanggalan tampak di buku Ahmad Soebadjo dalam penulisan
kalimat-kalimat teks proklamasi: Kami rakyat Indonesia, dengan ini menyatakan
kemerdekaan kami. Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan
diselenggarakan dengan cara yang secermat-cermatnya serta dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya.
Kita bisa membandingkan dengan kalimat-kalimat berikut ini:
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang
mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama
dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Perbedaan ini fatal dalam urusan bahasa dan makna. Gejala
perubahan dan perbedaan kalimat juga menjadi kecurigaan Sudiro. Sekian naskah
dengan keredaksian bahasa berbeda mungkin telah beredar ke negara-negara asing
melalui pemberitaan wartawan saat meliput peristiwa-peristiwa di sekitar
proklamasi.
Sudiro dalam buku Pengalaman Saya Sekitar 17 Agustus 1945
(1972) mengingatkan tentang keotentikan kalimat-kalimat dalam teks proklamasi.
Curiga Sudiro adalah tanda seru untuk sekian pengisahan oleh para pelaku
sejarah.
Penerbitan buku-buku pengisahan proklamasi adalah rujukan
tertulis dengan berbagai perbedaan perspektif. Kita bisa membaca dan memberi
refleksi tentang ”keburaman” dan ”kerancuan” sejarah.
Pengajuan empat buku dari Adam Malik, Mohammad Hatta, Ahmad
Soebardjo, Sudiro merupakan representasi pengisahan sejarah yang rentan klaim
dan kesalahan.
*)Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
0 comments:
Post a Comment