Bandung Mawardi *
Dimuat di Kompas, 19 Januari 2008
Wiji Thukul sebagai seorang
penyair miskin yang hidup dalam perkampungan sesak di kota Solo mengucapkan
mimpi tentang rumah dalam puisi “Suara dari Rumah-rumah Miring” (1987): kami
bermimpi punya rumah untuk anak-anak / tapi bersama hari-hari pengap yang /
menggelinding / kami harus angkat kaki / karena kami adalah gelandangan. Mimpi
itu lumrah dimiliki siapa pun yang merasa hidup di kota tapi tanpa janji dan
klaim kepemilikan rumah. Mimpi itu memiliki relevansi dengan keberadaan
rumah-rumah yang dibangun oleh kaum miskin atau “gelandangan”. Rumah-rumah itu
berada dalam tanda seru untuk mimpi dan realitas yang ada. Rumah-rumah itu jadi
sasaran untuk penggusuran, penertiban, pelenyapan, atau penghancuran. Kaum
miskin atau “pemimpi rumah” itu lantas harus melakukan mobilitas dan membangun
rumah di ruang lain bersama nasib dan mimpi yang tragis. Agus R. Sardjono
menuliskan peringatan itu dalam puisi “Syair Pindah Rumah” (1995): Tapi berapa
kali / sebenarnya dalam hidup kita sanggup berpindah rumah, / mengubah alamat
dan tempat pulang?
Rumah! Rumah terus jadi
persoalan. Orang-orang ingin dan bingung karena rumah. Persoalan rumah dihadapi
masyarakat dalam perbedaan kepentingan dan status sosial. Rumah sebagai runag
mukim (papan) hidup dipercayai sebagai basis hidup bersama keberadaan dan
ketersediaan sandang dan pangan. Rumah dalam pengertian naif adalah tempat
tinggal untuk hidup dan perlindungan diri dari pelbagai hal. Pengertian rumah
itu mengalami pergeseran dan perubahan bersamaan arus zaman yang memberi cobaan
dan godaan besar.
Kaum miskin terus mempersoalkan
rumah karena nilai dan fungsi yang ingin didapatkan. Rumah yang ada adalah
rumah yang mengalami redefinisi atau minimalisasi bentuk dan fungsi. Kaum
miskin di kota harus berani hidup dengan membangun rumah di pinggiran rel
kereta api, bantaran sungai, bawah jembatan tol, ruang kosong, lahan
pemerintah, atau ruang-ruang yang memungkinkan. Keberadaan rumah-rumah itu
sejak awal membawa persoalan kekuasaan, sosial, politik, ekonomi, kebudayaan,
dan hukum. Rumah-rumah yang berdiri secara permanen atau semi-permanen menambah
keramaian ruang kota dengan penampakkan (visual) yang kerap semrawut atau liar.
Ruang-ruang yang dianggap kosong menjadi pamrih dan kemungkinan untuk
pertumbuhan populasi rumah.
Keberadaan rumah-rumah kaum
miskin kota menjadi persoalan kompleks dan dilematis untuk otoritas penguasa
dan kepentingan publik. Rumah-rumah itu ada sebagai tempat tinggal (mukim) kaum
miskin untuk ruang produksi dan reproduksi manusia dan masalah. Rumah dengan
ukuran kecil kerap diperkarakan sebagai masalah besar oleh penguasa atau
pengusaha. Rumah-rumah yang ada itu selalu berada dalam tegangan kepentingan
pemerintah kota, pemilik tanah, pengusaha, atau pihak-pihak yang
berkepentingan.
Persoalan kota sebagai ruang
hidup dan pertumbuhan rumah adalah persoalan kegagalan kebijakan tata kota dan
konstruksi kota yang sadar masa depan (visioner) dan nilai-nilai kemanusiaan.
Kota-kota besar terus tumbuh dengan kepincangan dan ketimpangan. Pertumbuhan
(pembangunan) kota seakan adalah pertumbuhan investasi dan ekonomi dengan
mengabaikan nilai dan peran kota untuk orang-orang yang menghuninya. Marco
Kusumawijaya (2004) mencontohkan bahwa Jakarta selama tiga dasawarsa telah
menjadi korban developmentalisme yang justru tidak membangun kota. Konklusi
yang diajukan Marco berdasarkan realita kota Jakarta adalah reduksi dan
penghilangan peran kota secara signifikan. Kota (ruang kota) sekadar menjadi
alat pertumbuhan saja dan bukan sebagai pemukiman manusia. Pemukiman yang
dimaksudkan adalah ruang hidup manusia dengan pelbagai aktivitasnya. Rumah
dalam pengertian ini jadi persoalan besar dan krusial.
Kaum miskin kota dengan
keberadaan rumah merasa memiliki eksistensi dan kemungkinan untuk melakukan
tindakan-tindakan ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan sesuai dengan
kapasitas dan kompetensi. Persoalan-persoalan yang melingkupi rumah menjadi
suatu pengesahan untuk kehidupan kaum miskin. Risiko-risiko yang harus diterima
dan kerap terjadi adalah ketika rumah-rumah itu jadi momok atau aib yang lekas
disingkirkan atau dihancurkan. Rumah-rumah itu lantas digusur atau dilenyapkan
sesuai peraturan yang berlaku dan sesuai kepentingan tertentu. Kaum miskin
harus melakukan mobilitas dan membuat ancangan untuk membangun rumah di ruang
lain.
Bagaimanakah rumah terpahamkan
oleh kaum miskin dengan penguasa dan pengusaha? Rumah sebagai ruang hidup,
komunikasi, interaksi, rekreasi, reproduksi, atau ruang homonisasi-humanisasi
ditafsirkan dengan perbedaan besar dan pertentangan. Ruang kota sebagai ruang
ekonomi (uang) tentu jadi lahan untuk mencari penghidupan. Kaum miskin merasa
berhak untuk ikut menikmati lahan ekonomi itu sesuai dengan pandangan dan modal
yang dimiliki. Pekerjaan yang kasar dan nafkah yang kecil niscaya memengaruhi
kebutuhan untuk membangun dan memiliki rumah. Kaum miskin kota membangun rumah
sesuai dengan anutan dan kepentingan yang mungkin pragmatis dan naif. Tafsir
penguasa atau penguasa kerap berada di seberang dengan dalih dan dalil yang
mengacu pada konstitusi, investasi, atau klaim kepentingan publik.
Rumah-rumah di kota-kota besar
terus tumbuh dan lenyap. Populasi rumah terus bertambah tanpa pengimbangan
ruang-ruang yang representatif dan kondusif. Kaum miskin terus melakukan
mobilitas untuk pencarian dan pembayangan hidup yang mensyaratkan rumah sebagai
hunian yang mungkin minimalis. Rumah menjadi kebutuhan hidup yang bakal
disiasati meski harus berhadapan dengan sekian kepentingan dan konstitusi. Kaum
miskin kota menjadi pelaku-pelaku yang heroik dan luwes untuk memandang rumah
sebagai persoalan. Praksis rumah kaum miskin yang ada mungkin memiliki jarak
dan relevansi yang jauh dari wacana rumah yang diobrolkan di ruang-ruang
penguasa, pengusaha, seniman, arsitektur, artis, atau siapa pun.
Rumah yang berada di kota merupakan
pilihan yang mengandung kebenaran dan kesalahan. Kondisi rumah dan ruang kota
Jakarta yang semrawut dan mengandung persoalan-persoalan pelik adalah contoh
dan tanda seru besar yang memberi pengaruh untuk kota-kota lain. Rumah-rumah
dalam pertumbuhan kota niscaya mengalami redefinisi dan rekonstruksi dengan
pertimbangan-pertimbangan besar dan berisiko. Marco Kusumawijaya mengabarkan:
“Jakarta telah membuat banyak orang frustasi karena gagal menjadi tempat yang
lebih baik untuk tinggal.” Kondisi rumah dan ruang kota Solo dikabarkan dan
dideskripsikan dengan sugestif oleh Wiji Thukul dalam puisi “Suara dari
Rumah-rumah Miring” (1987): di sini kamu bisa menikmati cicit tikus / di dalam
rumah miring ini / kami mencium selokan dan sampah / bagi kami setiap hari
adalah kebisingan / di sini kami berdesak-desakan dan berkeringat / bersama
tumpukan gombal-gombal / dan piring-piring / di sini kami bersetubuh dan
melahirkan / anak-anak kami. Rumah sebagai tanda hidup di kota adalah tanda
seru yang mengingatkan dan mengkhawatirkan. Begitu.
*) Pengelola Jagat Abjad Solo
0 comments:
Post a Comment