Friday, August 8, 2014

Rumah

Bandung Mawardi *
Dimuat di Kompas, 19 Januari 2008

Wiji Thukul sebagai seorang penyair miskin yang hidup dalam perkampungan sesak di kota Solo mengucapkan mimpi tentang rumah dalam puisi “Suara dari Rumah-rumah Miring” (1987): kami bermimpi punya rumah untuk anak-anak / tapi bersama hari-hari pengap yang / menggelinding / kami harus angkat kaki / karena kami adalah gelandangan. Mimpi itu lumrah dimiliki siapa pun yang merasa hidup di kota tapi tanpa janji dan klaim kepemilikan rumah. Mimpi itu memiliki relevansi dengan keberadaan rumah-rumah yang dibangun oleh kaum miskin atau “gelandangan”. Rumah-rumah itu berada dalam tanda seru untuk mimpi dan realitas yang ada. Rumah-rumah itu jadi sasaran untuk penggusuran, penertiban, pelenyapan, atau penghancuran. Kaum miskin atau “pemimpi rumah” itu lantas harus melakukan mobilitas dan membangun rumah di ruang lain bersama nasib dan mimpi yang tragis. Agus R. Sardjono menuliskan peringatan itu dalam puisi “Syair Pindah Rumah” (1995): Tapi berapa kali / sebenarnya dalam hidup kita sanggup berpindah rumah, / mengubah alamat dan tempat pulang?
Rumah! Rumah terus jadi persoalan. Orang-orang ingin dan bingung karena rumah. Persoalan rumah dihadapi masyarakat dalam perbedaan kepentingan dan status sosial. Rumah sebagai runag mukim (papan) hidup dipercayai sebagai basis hidup bersama keberadaan dan ketersediaan sandang dan pangan. Rumah dalam pengertian naif adalah tempat tinggal untuk hidup dan perlindungan diri dari pelbagai hal. Pengertian rumah itu mengalami pergeseran dan perubahan bersamaan arus zaman yang memberi cobaan dan godaan besar.
Kaum miskin terus mempersoalkan rumah karena nilai dan fungsi yang ingin didapatkan. Rumah yang ada adalah rumah yang mengalami redefinisi atau minimalisasi bentuk dan fungsi. Kaum miskin di kota harus berani hidup dengan membangun rumah di pinggiran rel kereta api, bantaran sungai, bawah jembatan tol, ruang kosong, lahan pemerintah, atau ruang-ruang yang memungkinkan. Keberadaan rumah-rumah itu sejak awal membawa persoalan kekuasaan, sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan hukum. Rumah-rumah yang berdiri secara permanen atau semi-permanen menambah keramaian ruang kota dengan penampakkan (visual) yang kerap semrawut atau liar. Ruang-ruang yang dianggap kosong menjadi pamrih dan kemungkinan untuk pertumbuhan populasi rumah.
Keberadaan rumah-rumah kaum miskin kota menjadi persoalan kompleks dan dilematis untuk otoritas penguasa dan kepentingan publik. Rumah-rumah itu ada sebagai tempat tinggal (mukim) kaum miskin untuk ruang produksi dan reproduksi manusia dan masalah. Rumah dengan ukuran kecil kerap diperkarakan sebagai masalah besar oleh penguasa atau pengusaha. Rumah-rumah yang ada itu selalu berada dalam tegangan kepentingan pemerintah kota, pemilik tanah, pengusaha, atau pihak-pihak yang berkepentingan.
Persoalan kota sebagai ruang hidup dan pertumbuhan rumah adalah persoalan kegagalan kebijakan tata kota dan konstruksi kota yang sadar masa depan (visioner) dan nilai-nilai kemanusiaan. Kota-kota besar terus tumbuh dengan kepincangan dan ketimpangan. Pertumbuhan (pembangunan) kota seakan adalah pertumbuhan investasi dan ekonomi dengan mengabaikan nilai dan peran kota untuk orang-orang yang menghuninya. Marco Kusumawijaya (2004) mencontohkan bahwa Jakarta selama tiga dasawarsa telah menjadi korban developmentalisme yang justru tidak membangun kota. Konklusi yang diajukan Marco berdasarkan realita kota Jakarta adalah reduksi dan penghilangan peran kota secara signifikan. Kota (ruang kota) sekadar menjadi alat pertumbuhan saja dan bukan sebagai pemukiman manusia. Pemukiman yang dimaksudkan adalah ruang hidup manusia dengan pelbagai aktivitasnya. Rumah dalam pengertian ini jadi persoalan besar dan krusial.
Kaum miskin kota dengan keberadaan rumah merasa memiliki eksistensi dan kemungkinan untuk melakukan tindakan-tindakan ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan sesuai dengan kapasitas dan kompetensi. Persoalan-persoalan yang melingkupi rumah menjadi suatu pengesahan untuk kehidupan kaum miskin. Risiko-risiko yang harus diterima dan kerap terjadi adalah ketika rumah-rumah itu jadi momok atau aib yang lekas disingkirkan atau dihancurkan. Rumah-rumah itu lantas digusur atau dilenyapkan sesuai peraturan yang berlaku dan sesuai kepentingan tertentu. Kaum miskin harus melakukan mobilitas dan membuat ancangan untuk membangun rumah di ruang lain.
Bagaimanakah rumah terpahamkan oleh kaum miskin dengan penguasa dan pengusaha? Rumah sebagai ruang hidup, komunikasi, interaksi, rekreasi, reproduksi, atau ruang homonisasi-humanisasi ditafsirkan dengan perbedaan besar dan pertentangan. Ruang kota sebagai ruang ekonomi (uang) tentu jadi lahan untuk mencari penghidupan. Kaum miskin merasa berhak untuk ikut menikmati lahan ekonomi itu sesuai dengan pandangan dan modal yang dimiliki. Pekerjaan yang kasar dan nafkah yang kecil niscaya memengaruhi kebutuhan untuk membangun dan memiliki rumah. Kaum miskin kota membangun rumah sesuai dengan anutan dan kepentingan yang mungkin pragmatis dan naif. Tafsir penguasa atau penguasa kerap berada di seberang dengan dalih dan dalil yang mengacu pada konstitusi, investasi, atau klaim kepentingan publik.
Rumah-rumah di kota-kota besar terus tumbuh dan lenyap. Populasi rumah terus bertambah tanpa pengimbangan ruang-ruang yang representatif dan kondusif. Kaum miskin terus melakukan mobilitas untuk pencarian dan pembayangan hidup yang mensyaratkan rumah sebagai hunian yang mungkin minimalis. Rumah menjadi kebutuhan hidup yang bakal disiasati meski harus berhadapan dengan sekian kepentingan dan konstitusi. Kaum miskin kota menjadi pelaku-pelaku yang heroik dan luwes untuk memandang rumah sebagai persoalan. Praksis rumah kaum miskin yang ada mungkin memiliki jarak dan relevansi yang jauh dari wacana rumah yang diobrolkan di ruang-ruang penguasa, pengusaha, seniman, arsitektur, artis, atau siapa pun.

Rumah yang berada di kota merupakan pilihan yang mengandung kebenaran dan kesalahan. Kondisi rumah dan ruang kota Jakarta yang semrawut dan mengandung persoalan-persoalan pelik adalah contoh dan tanda seru besar yang memberi pengaruh untuk kota-kota lain. Rumah-rumah dalam pertumbuhan kota niscaya mengalami redefinisi dan rekonstruksi dengan pertimbangan-pertimbangan besar dan berisiko. Marco Kusumawijaya mengabarkan: “Jakarta telah membuat banyak orang frustasi karena gagal menjadi tempat yang lebih baik untuk tinggal.” Kondisi rumah dan ruang kota Solo dikabarkan dan dideskripsikan dengan sugestif oleh Wiji Thukul dalam puisi “Suara dari Rumah-rumah Miring” (1987): di sini kamu bisa menikmati cicit tikus / di dalam rumah miring ini / kami mencium selokan dan sampah / bagi kami setiap hari adalah kebisingan / di sini kami berdesak-desakan dan berkeringat / bersama tumpukan gombal-gombal / dan piring-piring / di sini kami bersetubuh dan melahirkan / anak-anak kami. Rumah sebagai tanda hidup di kota adalah tanda seru yang mengingatkan dan mengkhawatirkan. Begitu.

*) Pengelola Jagat Abjad Solo

0 comments:

Post a Comment