Bandung Mawardi *
Bali Post, 26 Mei 2013
MENULIS dan tulisan menjadi perkara penting dalam gerakan
perempuan abad XX. Gerakan itu menguat di Barat dengan rentetan sejarah panjang
sastra dan pembentukan masyarakat literasi. Tulisan dalam perspektif perempuan
mulai memiliki karakteristik dan menjadi kekuatan sebagai juru bicara ampuh
untuk ide dan identitas perempuan.
Luce Irigaray (2005) dengan lantang mengungkapkan kredo:
“Aku seorang perempuan. Aku menulis dengan keperempuananku.” Kredo itu menjadi
klaim dan pengesahan atas kepentingan perempuan untuk menulis. Argumentasi dari
kredo itu adalah ketidakmungkinan memisahkan diri sendiri sebagai perempuan dan
sebagai penulis. Irigaray mengingatkan bahwa pemilahan antara perempuan sebagai
perempuan dan perempuan sebagai penulis cuma ada bagi para penganut otomatisasi
verbal atau mimetisme makna saat telah melembaga dan stereotipe.
Kredo itu hendak memberi keterangan dan legitimasi bahwa
perempuan menulis dengan keperempuanan adalah fakta. Kredo itu direalisasikan
dalam tulisan-tulisan sebagai tandingan atas dominasi maskulinitas dalam dunia
menulis atau masyarakat literasi. Irigaray memberi pengakuan bahwa menulis
mengandung enam alasan logis: (1) aku hidup pada akhir abad XX dan aku cukup
dewasa untuk menulis; (2) aku mencari nafkah dari menulis; (3) tulisan adalah
medium komunikasi gagasan (ide) yang strategis pada akhir abad XX; (4) tulisan
membuka kemungkinan komunikasi dengan orang lain dalam pluralitas dan tulisan
potensial jadi warisan; (5) tulisan adalah alternatif ketika aku mendapatkan
larangan untuk bicara; dan (6) tulisan menjadi tempat menaruh gagasan dalam
konteks “ruang tunggu”.
Kredo Irigaray menemukan realisasi dalam kisah-kisah
pengarang perempuan di Indonesia. Fenomena besar pengarang-pengarang perempuan
semakin menguat sejak tahun 1980-an dengan kehadiran Dorothea Rosa Herliany,
Ratna Indraswari Ibrahim, Oka Rusmini, Abidah El-Khalieqy, Naning Pranoto,
Leila S. Chudori, Nukila Amal, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, Fira Basuki,
Dinar Rahayu, Nenden Lilis, Linda Cristanty, Nova Riyanti Yusuf, Dewi Sartika,
Ratih Kumala, Evi Idawati, Rieke Diah Pitaloka, Mariana Amiruddin, Dina
Oktaviani, dan lain-lain. Kehadiran pengarang-pengarang perempuan itu
menunjukkan karakteristik dan identitas perempuan sebagai kontribusi besar
terhadap kesusastraan dan masyarakt literasi Indonesia.
Tema tubuh perempuan sejak kehadiran novel Saman mulai
menjadi fokus penting dalam tulisan-tulisan pengarang perempuan. Fokus tulisan
atas tubuh perempuan menjadi pembenaran atas kredo Helene Cixous: “Menulis
adalah media untuk mengungkap wacana tubuh perempuan disebabkan selama ini
tersita oleh dominasi laki-laki. Perempuan menulis bisa kembali pada tubuh
sendiri sebab tanpa tubuh-dimiliki maka perempuan akan menjadi bisu, tuli,
buta, dan tak mungkin menjadi a good fighter dalam hidup.”
Tubuh perempuan menjadi polemik pelik dalam kesusastraan
Indonesia modern dan wacana feminisme. Polemik itu berada dalam tegangan etis,
estetika, filosofis, dan gender. Dinar Rahayu Pujiastuti (DRP) mengejutkan
publik sastra Indonesia dengan novel Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch
(2002). Novel itu mengisahkan perilaku masokisme dan transeksual. Tema itu
rentan dengan kontroversi untuk publik Indonesia. DRP dengan fasih menulis dan
mengisahkan tema itu tanpa ketakutan terhadap risiko buruk atas pembacaan dan
penilaian publik dengan acuan sastra, moral, feminisme, politik.
Lugas
DRP memberikan keterangan lugas atas pilihan menulis novel
dengan tema seks dan tubuh menggunakan argumentasi ambigu. Dinar mengakui bahwa
fakta diri sebagai perempuan tidak memberi pengaruh signifikan terhadap tema
dan kontruksi novel. Pengakuan itu hendak meruntuhkan sterotipe bahwa perempuan
niscaya dan mutlak harus menulis mengenai perempuan karena fakta pengarang
sebagai perempuan. Dinar mengabaikan itu dan melakukan pembuktian dalam novel
yang tidak memiliki pretensi sebagai “novel perempuan”. Novel Ode untuk Leopold
von Sacher-Masoch adalah novel tanpa harus ada pelabelan “perempuan” dengan
alasan ditulis oleh seorang perempuan.
Pengakuan diri DRP kentara berbeda dengan pengakuan dan
argumentasi Djenar Maesa Ayu (DMA) melalui suguhan buku Mereka Bilang Saya
Monyet!, Jangan Main-main dengan Kelaminmu, Nayla, dan Cerita Pendek tentang
Cerita Cinta Pendek. DMA mengakui bahwa menulis membantu diri untuk mengeluarkan
endapan-endapan bawah sadar dan membantu untuk mengenali diri. Menulis adalah
hadiah bagi diri. DMA justru membuat pembenaran bahwa fakta diri sebagai
perempuan memberi pengaruh signifikan terhadap proses kreatif menulis teks
sastra. DMA mengakui terlahir sebagai perempuan dan hal-hal dalam tulisana
adalah isu-isu mengenai dunia dan identitas perempuan. Pengakuan itu menjadi
pembenaran atas pilihan tema dan pemakaian-pengolahan bahasa dalam teks-teks
sastra DMA.
Perempuan menulis adalah perempuan berpamrih mengisahkan
diri sebagai manusia dengan tegangan idealitas dan realitas. Tulisan menjadi
representasi dan realisasi dari suatu keinginan atau kepentingan untuk
kehadiran dan faktualitas perempuan dalam pemahaman sebagai subjek. Perempuan
menulis sebagai bentuk ungkapan atas kedirian perempuan dalam konteks
individual dan sosial. Simone de Beauvoir mengingatkan bahwa perempuan dan
tulisan (fiksi) adalah masalah tak bakal pernah berakhir. Begitu.
*) Pengelola Jagat Abjad Solo
0 comments:
Post a Comment