Oleh: Bandung Mawardi
Dimuat di Suara Merdeka (28
Desember 2oo8)
Siapa masih khusyuk mengonsumsi
berita, cerita, derita selebritas di televisi? Televisi masih jadi kiblat hidup
orang-orang Indonesia. Selebritas terus jadi “sumur tak pernah kering” untuk
godaan tak usai. Penonton televisi mendapati sihir untuk menikmati lakon hidup
selebritas dari perkara aib sampai mimpi. Acara-acara mengenai selebritas
adalah godaan genit untuk penonton sejak pagi hari sampai larut malam.
Kritik dan protes tak bisa mempan
untuk membunuh atau mengurangi acara dengan lakon-lakon selebritas. Acara
tentang selebritas mungkin adalah ruh untuk hidup dan mati televisi. Penonton
pun terus khusyuk menonton televisi. Neil Postman (1995) dalam kritik keras
mengungkapkan bahwa ibadah menonton televisi adalah tindakan “menghibur diri
sampai mati”. Garin Nugroho juga dengan kritis dalam buku Seni Merayu Massa
(2005) mengajukan tanya: “Televisi, musuh di ruang keluarga Indonesia?”
Bagaimana perkara selebritas
mendapati analisis kritis dalam sorotan studi kebudayaan populer atau cultural
studies? Ignatius Haryanto memberi paparan kritis dalam buku Aku Selebriti Maka
Aku Penting (2006). Judul buku ini merupakan plesetan dari adagium Descartes:
Cogito Ergo Sum (Aku berpikir maka aku ada). Judul buku ini mengisyaratkan
kegeraman dan kegemasan terhadap selebritas, televisi, dan penonton di
Indonesia. Buku ini masuk dalam genre studi kebudayaan populer dalam sorotan
cultural studies. Jenis-jenis buku ini memang ramai di dunia perbukuan
Indonesia sejak tahun 2000-an sebagai acuan untuk membaca lakon kebudayaan
populer mutakhir.
Ignatius Haryanto dalam bab “Aku
Selebriti maka Aku Penting”, “Infotainment: Pengingkaran Fungsi Informasi?”,
dan “Pekerja Infotainment, Profesionalisme, dan Etika” secara gamblang
mendedahkan sisi gelap dan ironi dalam acara televisi dengan lakon dan komoditi
selebritas. Inilah refleksi Ignatius Haryanto: “Dunia ini seolah extravaganza
dengan parade keriuhan tanpa henti, di mana artis cantik dan ganteng satu
persatu bermunculan, membentuk barisan tanpa putus. Kita pun dihibur dan
dihibur dan dihibur.”
Kritik atas acara hiburan
televisi memang tidak pernah absen meski tak ada tanda perubahan secara
signifikan. Kritik justru mendapati jawaban mencengangkan bahwa acara-acara
hiburan dan selebritas semakin bertambah dan digandrungi penonton. Logika untuk
membenahi kualitas acara televisi kerap ambruk oleh kepentingan kapital,
rating, atau apa saja.
Kritik muncul karena ada gelagat
dan fakta bahwa acara-acara di televisi adalah senjata mencari uang dengan
“mengutuk” penonton sebagai umat dan korban. Acara infotainment, sinetron, talk
show, kuis, atau reality show dengan kiblat selebritas kerap mengantarkan
penonton pada tabrakan etika, humanisme, spiritualitas, intelektualitas, dan
kesadaran rasionalitas. Acara-acara televisi memang menjadi “menu lezat tapi
mematikan.”
Buku-buku tentang budaya populer
atau cultural studies pantas jadi referensi untuk membaca dan menilai pelbagai
program acara televisi dan sihir selebritas. Sekian buku-buku terjemahan:
Populer Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (2003) oleh Dominic
Strinati, Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan: Lanskap Konseptual Cultural
Studies (2003) oleh John Storey, Cultural Studies: Teori dan Praktik (2005)
oleh Cris Barker, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop (2007) oleh John
Storey, dan Media dan Budaya Populer (2008) oleh Graeme Burton. Muatan dalam
buku-buku itu reflektif, provokatif, dan kritis untuk jadi bekal membaca
televisi dan selebritas.
Penerbitan buku-buku itu
merepresentasikan antusiasme publik pembaca dalam menyusun argumentasi untuk
melancarkan kritik atas lakon-lakon televisi. Yasraf Amir Piliang dalam buku
Postrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika (2004)
mengungkapkan: “Televisi adalah kotak jiwa yang mengandung pelbagai citra semu,
rayuan palsu, dan simulakrum realitas.” Penonton sebagai umat setia bakal
diarahkan untuk melakukan “bunuh diri” rasionalitas.Kritik terhadap televisi
memang memuat daftar panjang serangan dan senjata. Bagaimana kritik untuk lakon
televisi hari ini?
Gosip selingkuh, perceraian,
kekerasan, pesta, pacaran, atau bualan dari kaum selebritas terus mengalami
pembesaran dan pelipatgandaan sebagai informasi dan hiburan dalam
program-program televisi di Indonesia. Kritik dalam bentuk esai atau artikel di
media massa cetak dan penerbitan buku mungkin sekadar tanda seru kecil karena
tak sanggup meruntuhkan iman pembuat program acara televisi dan penonton
televisi?
Selebritas pada hari ini adalah
lakon menggemaskan dan mengenaskan dalam acara-acara televisi. “Aku selebritas
maka aku penting” menjadi fakta dan tanda seru untuk nasib penonton. Negeri
dengan rakyat yang suntuk dan repot memikirkan selebritas adalah negeri ironi
dan tragedi. Siapa mau percaya dengan ungkapan provokatif Jean Baudrillard
(1983): “Televisi lebur dalam kehidupan dan kehidupan lebur dalam televisi?”
Begitukah?
0 comments:
Post a Comment